Wednesday, April 22, 2020

"Pahit" dan "Pelik": Dedikasi untuk Pertemanan yang Tak Pernah Mati

Vir, Von, Djar, this one's for you.

Sahabat SMA yang bertahan hingga kuliah memang biasa. Namun, kelompok pertemanan yang terbentuk setahun-dua tahun setelah pisah kampus terasa seperti konspirasi semesta.

Setidaknya begitulah yang aku pikirkan tentang pertemananku dengan tiga orang hebat yang merupakan teman-temanku di SMA. Tepatnya, teman-temanku di Klub Bahasa Inggris atau CIBI English sekolah kami.

Sebenarnya masing-masing dari mereka bukanlah orang asing. Ketiganya merupakan teman dekatku, namun dari lingkaran yang berbeda-beda. Davon, teman SD yang mulai akrab sejak SMA hingga kuliah. Fadjar, pecinta musik dari IPS yang lama-kelamaan menjadi teman bercerita paling asyik. Savira, teman SMP hingga SMA, orang yang sempat menjadi tempat curhat utamaku meski berada di kelas akselerasi. Oh, ya, ketiganya merupakan anggota divisi Speech dari CIBI English, para orator ulung. Hanya saja, ide untuk membuat sebuah geng bersama anak Debate merangkap Scrabble sepertiku terasa absurd andai kau tidak mengetahui kisahnya.

Semua berawal dari buka bersama CIBI English yang terjadi setahun setelah kami lulus. Ms Moniek, guru Bahasa Inggris kami dari Amerika, saat itu tengah berkunjung kembali ke Pekanbaru. Tentu saja kami sebagai anak CIBI yang sangat akrab dengannya sangat antusias untuk berkumpul dan menemuinya.

Parsley, 12 Juni 2018. Petang hingga malam itu kami lalui dengan penuh sukacita. Ms Moniek yang memang baik hati dan pengertian lantas memberi masing-masing dari kami oleh-oleh dari Amerika. Untukku, beliau memberiku bookmark magnetik karena beliau tahu aku senang membaca. She knows me too well! Tentu saja aku sangat menyukainya (Ms Mo, if you're reading this, I love you!!). Kemudian, tentu saja dilanjutkan dengan sesi foto-foto dan selfie. Aku ingat saat itu kami agak kesulitan karena kami cukup ramai dan pencahayaannya pun sedang kurang bagus karena sudah malam. But still, we had lots of fun.

Hingga tibalah momen yang secara tidak langsung mengubah hidupku hingga sekarang. Entah bagaimana mulanya, aku, Savira, Fadjar, dan Davon sepakat untuk pergi ngopi berempat setelah semua bubar. Kebetulan, saat itu Savira dan Fadjar sama-sama membawa mobil. Akhirnya dengan agak terburu-buru kami masuk mobil sesuai pembagian yang kami buat; aku bersama Savira, Davon bersama Fadjar. Entah kenapa, saat itu we got a feeling bahwa kami hanya ingin menghabiskan sisa hari itu berempat saja. Maybe the chemistry was already set back then.

If love at the first sight exists, does friendship in the first hangout do too? Karena entah kenapa, saat kami berempat akhirnya berkumpul di mobil Savira dan menyeruput minuman dari Kulo, kami langsung merasa sangat nyambung. As far as I can remember, it feels like we've been a group for so long. Langsung saja malam itu menjadi malam penuh tawa dan, oh ya, penuh gibah juga tentunya (ups). Pokoknya, it was a really great start for a friendship.

Setelah malam itu, tentu saja pertemanan kami tidak langsung bubar. Entah bagaimana akhirnya kami membuat multichat berempat dan berencana untuk hangout bareng lagi, yang terealisasikan kira-kira sebulan setelahnya, sebelum kami kembali ke perantauan masing-masing. Aku lupa berapa kali kami jalan bareng pada liburan itu, kurasa lebih dari sekali. But still, we talked, we laughed, we took snapshots in the photo box, we were happy. Entah bagaimana pertemanan yang baru saja dimulai itu akhirnya menjadi highlight dari liburan semester keduaku, dan ke depannya, salah satu highlight dari hidupku.

Di luar pertemuan langsung, kami jauh dari apa yang kalian bayangkan sebagai sebuah geng yang berinteraksi 24/7. But that's what makes every meeting interesting. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan kami di antara setiap pertemuan, sehingga banyak pula cerita yang bisa kami sampaikan. Yah, tentu saja kami hanya bisa berkumpul saat libur semester karena aku dan Davon berada di Jogja, sementara Savira dan Fadjar di Bandung (sebenarnya Fadjar di Bandung coret, sih, tapi ya sudahlah ya).

Maka dari itu, kerap kali terjadi pergantian status saat kami akhirnya bisa bertemu lagi. Yang awalnya single, taken, single lagi? Ada. Yang awalnya taken lalu single? Ada. Yang single seumur hidup? Wah, ada juga tentunya. Tidak usah dirincikan siapa yang mana ya, hehe. But aside from that, tentu saja isi kehidupan dan pembicaraan kami tidak hanya tentang cinta-cintaan saja. Aku masih ingat pada suatu pertemuan yang agak maksa karena Savira sebenarnya sedang bersama keluarganya, Solaria Mal SKA menjadi saksi dari banyaknya masalah hidup yang kami hadapi dan keputusan-keputusan yang mesti kami ambil. Untungnya, masing-masing dari kami dapat membantu menawarkan solusi atau minimal empati pada setiap permasalahan yang kami masing-masing hadapi. It was such a quality talk, a quality time. Something I really appreciate these days.

Desember 2019 hingga Januari 2020 menjadi pengingat bagi kami bahwa masing-masing dari kami memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Pada masa itu, meski kami sama-sama sedang libur akademik, kami berempat berada di kota, bahkan negara, yang berbeda-beda. Savira yang sedang di New York bersama keluarganya. Fadjar yang sedang magang di Singapura. Davon yang sedang exchange di Penang. Dan aku, yang sedang magang di Riau. Masing-masing dari kami sibuk dengan urusan masing-masing, nyaris pasrah pada kenyataan bahwa kami tidak bisa berkumpul pada liburan kali ini. "Bagaimana jika kami sudah lulus nanti, ya?" Pikirku suatu waktu.

But miracles do happen. Perhaps the stars were aligned. Maybe God has a plan. Suatu hari di penghujung liburan, tiba-tiba saja Savira mengabarkan bahwa dia akan pulang ke Pekanbaru. Kira-kira begini isi percakapannya;

Savira: "Besok aku ke Pekanbaru! Tapi aku cuma sampe Senin depan..."
Fadjar: "Aku pun dah pulang, HAHA"
Savira: "Kau di PKU juga Jar?"
Fadjar: "Iya di PKU, Nangor Jumat depan"
Aku: "Jumat ini ketemu gimana?"
Davon: "Aku bisaa"
Savira: "HAYUK, kok pas banget sih wkwk"
Davon: "Hayuklahh gass!"
Fadjar: "Jumat? Maaf ya we"
Kami: "Hah kenapa..."
Fadjar: "... Aku bisa"
Aku: "******"

Setelah berbagai revisi dalam perencanaan, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu hari Sabtu sore di Living World. Aku yang masih magang di Kerinci saat itu dengan semangat mengangkut bawaanku ke bus tujuan Pekanbaru, siap untuk langsung menemui teman-temanku. Benar saja, setelah aku tiba dan beristirahat sebentar di rumah, Fadjar dan Davon pun datang menjemputku dengan mobil Fadjar. Setelah itu, barulah kami pergi menjemput Savira di rumahnya.

Seusai sesi nyanyi Lover is a Day bersama Fadjar yang sering kuledek sad boi serta ramah-tamah dengan mama Savira, akhirnya kami meluncur ke Living World. Semua cerita menarik berusaha kami tahan agar disampaikan nanti saat kami sudah duduk makan saja. Setelah memilih tempat makan serta makanan yang akan kami santap, barulah akhirnya kami meletakkan ponsel masing-masing di tengah meja dan saling lempar siapa yang mesti bercerita duluan.

"Si Azz semangat naruh hapenya duluan, kaulah cerita dulu Azz..."
"Ha, kok aku pulak? Savira tu lah, kan dia yang paling bikin kepo!"
"Ehh nggaklah..."

Begitu terus, hingga akhirnya giliran pertama bercerita jatuh pada Savira. Cukup menarik memang kisah mahasiswa berprestasi STEI ITB ini, sayang kalian tidak dapat mengetahuinya, hehe. Pokoknya, aku, Fadjar, dan Davon sangat absorbed pada ceritanya dan menyimak dengan serius.

"Ya, gitulah ceritanya," rangkum Savira akhirnya sembari menyeruput tehnya. "Pahit, sih, memang..."

Hening sejenak.

"Tehnya, Vir?"

"Hah?"

"Hah?"

Savira memandang kami kebingungan, hingga akhirnya tertawa. "Maksud aku keadaan... Tapi iya sih dua-duanya..."

Akhirnya kami tergelak bersama atas ke-absurd-an yang baru saja terjadi. Duh, memang tipikal kami, ada saja yang bisa ditertawakan setelah suasana serius. Akhirnya, setelah Savira menyelesaikan ceritanya, dengan agak terpaksa aku menyampaikan ceritaku yang sebenarnya tak kalah seru. Davon yang sudah tahu jalan ceritanya pun meraih ponselnya, sementara Savira dan Fadjar menyimak dari awal sampai akhir. Cerita pun masih berlanjut bahkan saat kami akhirnya sudah di mobil untuk ke tujuan lain kami hari itu.

"Begitulah keadaan Azzahra nih, memang pelik," ujar Davon untuk yang kesekian kalinya, sampai-sampai aku, Savira, dan Fadjar selalu tertawa jika Davon mengucapkan kata itu lagi. Duh, pelik!

Akhirnya, kami menghabiskan waktu hingga tengah malam bersama-sama, dan diantar dengan selamat oleh Fadjar ke rumah masing-masing tentunya. Banyak sekali keseruan yang terjadi selain cerita-cerita kami yang ngawur; masuk ACE Hardware cuma untuk numpang foto, berfoto lagi di sudut lain mal, mengobrol seru dan memutar lagu di mobil, makan sate padang di Sate Bundo Kanduang yang sudah lama diidamkan, hingga akhirnya duduk di KFC untuk melanjutkan sesi cerita hingga tengah malam. It was a really meaningful meeting. Sepanjang pertemuan itu, aku berkali-kali bersyukur diberi kesempatan untuk berkumpul dan berbagi suka-duka dengan orang-orang yang aku sayangi itu.

Kini, meski sama-sama berada di Pekanbaru, mau tak mau kami harus menahan diri untuk tidak bertemu satu sama lain dikarenakan pandemi yang sedang berlangsung. Memang pahit dan pelik, ya. Untungnya, di sela-sela kesibukan kami selama swakarantina ini, kami sempat mengobrol lewat Zoom sebelum Davon mengeluarkan titah untuk menghapus aplikasi tersebut (ya, kurasa kalian tahu sendiri kenapa). Seperti biasa, kami sedikit banyak membicarakan kisah hidup masing-masing, saling mengomentari dan mencari apa yang bisa ditertawakan dari pahit dan peliknya kehidupan serta kebodohan-kebodohan kami.

"Dahlah, intinya kita berempat sama-sama bongak," ujar Fadjar akhirnya. Entah kenapa kami bertiga setuju.

Saat menuliskan ini semua, aku jadi sadar betapa aku merindukan ketiga temanku itu dan betapa berharganya waktu yang bisa kami habiskan bersama. Kini pulang ke Pekanbaru terasa tak lagi sama tanpa pertemuan dengan mereka, dan meski teknologi dapat memudahkan kami dalam meraih satu sama lain, tentu saja semua itu tidak ada tandingannya dengan saat-saat dimana kami duduk berempat dan saling mendengarkan cerita masing-masing tanpa kewajiban yang mesti dikerjakan. Semoga saja setelah semua ini usai, hubungan kami makin erat dan tiap pertemuan akan semakin hangat. I have faith that everything is gonna be okay between us.

Untuk Savira, semangat kerja dan skripsiannya. Kau hebat. You're destined for great things, I'm sure of it. Let us know when we can catch up with you!

Untuk Fadjar, kau menyebalkan, tapi kau hebat. Semoga kisah kau selalu dapat menginspirasi kami. Semangat berkarya, ya, aku tunggu gebrakan dari kau.

Untuk Davon, sesekali kirim masakanmu ke kami, dong! Hehe, canda deng. Semangat terus belajar masaknya dan untuk segala hal yang dilakukan selama karantina!

Senang bisa mengenal kalian. Sampai jumpa segera!

9 Februari 2020, ACE Hardware, minus urat malu.

Monday, September 9, 2019

Perihal Mengikhlaskan

I guess I'd rather stay moving on from better days
I miss my better ways, wish I never saw your face
but that's okay

(Sarah and the Sundays - Moving On)

Beberapa hari silam, aku menemukan sebuah lagu bertajuk Moving On dalam daftar putar Discover Weekly Spotify-ku. Karena sesuai dengan keinginanku saat ini - yakni mengikhlaskan suatu fase kehidupan dan terus bergerak maju - aku memutuskan untuk mendengar dan mencari liriknya. And I don't regret it.

"I guess I'd rather stay moving on from better days"; ingat, from, bukan towards. Hal ini menarik bagiku, karena biasanya hal klise yang dikatakan oleh orang lain saat seseorang telah memasuki fase gelap dalam kehidupan adalah 'nggak apa-apa, hari yang lebih cerah akan menantimu', 'Tuhan sedang menyiapkan hal yang lebih baik untukmu', dan sejenisnya, dan sebagainya.

Bukannya aku tak percaya bahwa hari-hari yang lebih bahagia akan tiba. Hanya saja, perlahan aku menyadari satu hal perihal mengikhlaskan; bahwa sejatinya kita harus menerima bahwa segala keindahan yang kita miliki, jalani, lalui dulu memang adalah nyata adanya. Hal itu adalah berkah dari Tuhan dan seluruh semestaNya, dan bukan suatu hal yang mesti dihindari, dilupakan, apalagi dianggap tidak pernah ada.

Aku bersyukur atas hari-hari indah yang pernah dihadiahi semesta padaku; atas segala kemudahan, semua gelak tawa, dan beragam rasa yang ditawarkan.

Maka saat segala kenikmatan itu ditarik dariku, aku hanya akan melambaikan tangan padanya sembari menyaksikannya keluar dari pintu kehidupanku. Berterima kasih bahwa suatu hal pernah terjadi, saat sebuah posisi pernah ditempati, saat seseorang pernah ada di sisi. Percaya bahwa semua memiliki makna dan pelajaran tersendiri yang tersisip di balik kepergiannya.

Kini saatnya menghadapi hari-hari yang lebih berat dengan sejumput rasa ikhlas. Karena memang begitulah adanya hidup; manis dan pahit silih berganti, tanpa tawar-menawar terhadap apa yang telah digariskan olehNya. Entah sampai kapan.

Friday, August 2, 2019

In an Alternate Reality, There'll Be Us

Apakah kau percaya bahwa ada kenyataan lain di luar kenyataan yang tengah kita jalani?

Di antara kata demi kata yang senantiasa kutuliskan, terkadang terlintas pikiran mengenai batas-batas yang memisahkan antara imajinasi dan realita. Apakah di semesta ini ada suatu tempat dimana khayalan kita sejatinya nyata adanya? Apakah dunia yang kita ciptakan dalam kepala kita merupakan hal yang tak lebih maupun kurang nyata dari dunia di luarnya? Apakah imaji yang tercipta dalam kepalaku juga dapat disebut sebagai realita - tempat dimana kita tak pernah saling mengucapkan kata pisah?

Abaikan kalimat terakhir. Toh, dalam dunia ‘nyata’ pun, sejatinya kita tak pernah saling mengucapkan kata pisah.

Semua terjadi dengan sangat cepat. Entah pada hari, jam, menit, dan detik keberapa dalam hidupmu, kau memutuskan bahwa eksistensiku tak lagi signifikan dalam perkembanganmu. Kata-kataku tak lagi menjadi hal yang menenangkanmu di kala gundah. Keberadaanku di sisimu tak lagi menjadi hal yang kau jaga. Pesan-pesan rinduku tak lagi menjadi hal yang ingin kau gubris. Begitu saja. Aku tak relevan lagi.

Maka dari itu, biarlah jemari yang sudah lama berhenti menari di atas tuts papan ketik ini menciptakan dunia dimana ia ditakdirkan untuk bertautan dengan jemarimu. Merealisasikan ruang sekian dimensi dimana kau dan aku tak pernah saling mundur menjauhi satu sama lain. Hanya hari-hari penuh cinta dan kebahagiaan lah yang akan kita lalui bersama. Selamanya.

Thursday, November 29, 2018

Satu Arah

Bulan-bulan berlalu tanpa aksara
Kembang tak lagi senapas-sewarna
Kusangka ku t'lah mati rasa;
terlampau lelah meramu asa
yang lambat-laun 'kan pupus jua
Namun begitu sanubari terbasuh lara
saat tawamu tak lagi menggema
dalam sebuah cengkerama,
kurasa cukuplah sudah pertanda
bahwa padamu aku masih sama

29 November 2018

Thursday, November 22, 2018

A Blurry Sense of Identity

Ada bagian dari diriku yang senantiasa memikirkan pandangan orang lain padaku. Ya, 'bagian', karena aku tidak ingin menjadikannya identitasku. Tyler Joseph menamai bagian serupa dalam dirinya sebagai Blurryface. Ia bahkan mengabadikannya dalam karya-karyanya sebagaimana yang ia senandungkan dalam Stressed Out;
My name's Blurryface, and I care what you think.

Blurryface is a symbolism of the parts of ourselves that we disapprove, the cruel voices inside our heads; our doubts, our insecurities, our sorrow. They're not a representation of us. They're not our identity. They're something that sticks with us, and we've got to work hard to be able to make peace with it.

That part of me - my Blurryface - has been sticking with me for years now. He possesses me. He became one with me. He got me into thinking that those negative thoughts and traits are who I am, that he is my identity. He made me afraid of losing myself if I get rid of him. And unfortunately, up 'til now, I'm still unsure of how to differentiate which parts of myself are genuinely mine and which are his.

Wednesday, June 20, 2018

Upgraded, for the Worst

Growing apart.

He used to be everything to me; an ideal partner to talk about anything and everything that matters in life, and was basically the only person who could quite deal with the chaos in my mind. I never thought that four months without catching up with each other would drastically reduce the compatibility between someone and the person they once loved.

The worst part is that I still fall for the older version of him; the one that had seen and connected with my soul, conducted heart-to-heart conversations instead of boring, generic topics with an addition of lame jokes and forced laughters that happened between us lately. I never thought that it would feel this empty to miss a version of someone that no longer exists.

Sunday, May 13, 2018

A Personal Take on Music: Of Life... and Death

Some people might be confused why am I so obsessed with music (when I can't even play any goddamn instrument). Bagiku, musik adalah caraku merayakan hidup - salah satunya, dengan menyematkan memori mengenai orang lain dalam lagu-lagu tertentu. Dengan begitu, saat orang tersebut sudah tiada, I can always listen to that one particular song and feel their presence back in my heart and my mind.

But sometimes, it also works like a boomerang. Kerap kali aku tidak berani mendengar suatu musik atau bahkan suatu band lagi, karena entah kenapa bagiku jadi sangat sulit untuk mengikhlaskan kepergian sang 'pemilik' lagu itu dalam benakku. It was as if they were still alive in between the lyrics and the instruments, their spirits carrying on with me in every step I take.


Sampai hari ini, aku belum berani kembali mendengar Avenged Sevenfold. Kenapa? Karena dalam band tersebut tersemat kenanganku dengan almarhumah kakak panitia dari sebuah lomba Scrabble yang aku ikuti di Pekanbaru, dan saat itu menjadi teman mengobrolku mengenai A7x yang sedang aku gilai. Masih teringat jelas di pikiranku saat aku SKSD bicara dengannya karena ia memutar lagu A7x di speaker, dimana akhirnya ia merekomendasikan lagu A7x yang berjudul 4.00AM untuk kudengarkan.

It's four in the morning, you got one more chance to die. 
Like beautiful stories, the greatest chapters flew right by. 
There comes a day when we will find out for ourselves, 
that once we had the words to say, there's no one left to tell 
I know why you're running away...

Same goes to Lana del Rey, the favorite singer of a late best friend of mine. He jokingly told me that he was confused of my preference in musical genre and wondered "lagu kau tu berat, nggak sakit telinga kau denger rock gitu?". He then suggested me to listen to Lana del Rey instead, whose song 'Love' was his favorite.

I really did listen to it at the time, but didn't look so close into the lyrics 'til he finally left us all behind;


You get ready, you get all dressed up 
to go nowhere in particular 
back to work or the coffeeshop 
doesn't matter, 'cause it's enough 
to be young, and in love...

It was both beautiful and heartbreaking to figure out how much he loved the concept of being young, and in the end, managed to stay forever young. Perhaps they weren't exaggerating when they made the saying "you are what you listen to". Not to point out how the other one's favorite song was about the choice you had to make in 4.00AM; to either run away from your problems and take your own life, or decide to stay 'til your time comes. I'm glad that, in her case, it turns out to be the latter.

As for me... well? I guess I'd love to be remembered everytime y'all listen to a TØP song. Still not sure which one specifically, though.

Ah, sudahlah, lebih baik aku bobo dulu saja. See you around, gengs.


It's almost 4:00AM, and I decide to keep on living.

Tuesday, May 1, 2018

In Memory of a Late Friend

Everyone you meet has something to teach you.

This one's for you, Dim.

I still remember the first time I saw you more than a year ago. I was alone in class and you peeped in, asking me if I knew where Navisa was. I, being the clueless girl who was too indulged in her daydream, only muttered a quiet "no". I then discovered that you were one of Ega's - my best buddy - best buddies. That was when I decided that you were worth to get to know about, and eventually, be good friends with.

I still remember the first - and also ironically the last - time we hanged out together. I just arrived at Pekanbaru for my first ever semester holiday, and being a not-so-sociable person, I never expected anyone to get excited about my presence back in hometown. I never expected that anyone would even bother to welcome me back, let alone immediately ask me for a meet-up right after I arrived.

But you did. You were somehow really glad that I was finally home, asking me to go out and eat at some random place near our houses. We then finally asked Ega to join, and there I was; finally realizing that I had friends who actually cared enough to meet me and listen to my stories as soon as I came back from a long, tiring adventure far away from home. And for that, Dim, I'd forever be grateful.

You somehow always had the way to make me feel good about myself. You congratulated me when I got into UGM, even though we were not very close back then. You repeatedly implied that you were proud of me at the time, and also months later when my campus 'crush' noticed me (it might sound irrelevant, but it meant a lot - really, it did). Dim, if only you knew how proud I am to ever encounter a soul as beautiful as yours.

I've always believed that there's no such thing as coincidence when it comes to crossing paths with other people at some point of our lives. I hope you know I'm sorry for all the times when I just brushed your advices off. Now that you're gone, I just realized that there are lots of things I should've done. I haven't even thanked you for all the things you'd done for me, for all the times you made me feel like I matter. But for now, I hope my endless prayers would be enough to becalm you till Hereafter comes.

Love to you, eternally. You might be physically absent from this world, but the beauty of your soul will be something I'll always hold close to my heart. Goodbye for now.

Dimas Surya Dinata
May 18, 1999 - April 16, 2018

Monday, July 24, 2017

Sebuah Awal yang Baru

Lepas landas. Tatapanku menerawang, menyaksikan pesawat yang kutumpangi menjauh dari daratan kota kelahiranku. Dengan saksama kuperhatikan kumpulan bangunan di bawahku yang seakan mengecil hingga akhirnya hilang dari pandangan. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah rumahmu adalah salah satu dari petak kecil di bawah sana.

Suatu perasaan asing muncul di hatiku. Beberapa hari ke depan aku akan terus bersua dengan puluhan orang yang senasib denganku, puluhan orang yang bisa kuajak berinteraksi kapan saja, kemanapun kami pergi. Tetapi entahlah, aku hanya ingin berbicara denganmu. Andai saja kau ada disampingku - saat ini, atau nanti saat aku menginjakkan kaki pada daratan kota rantau, atau besok saat aku akan mendatangi kampusku untuk kali pertama, atau pada hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun berikutnya - bepergian takkan terasa seberat ini. Suara pengumuman dari awak kabin serta-merta membuyarkan lamunanku dan seketika aku tersadar bahwa semua itu tinggallah angan-angan belaka.

Kau sudah berbahagia di kota perantauanmu jauh-jauh hari. Sedangkan aku, masih disini sembari berusaha menelan pil pahit bertajuk kenyataan bahwa aku harus menjalani hari-hari berikutnya tanpamu. Dalam hati aku sepenuhnya sadar bahwa memang begitulah yang sudah seharusnya. Tak ada yang bisa memaksa seseorang untuk terus berada di sisinya, dan apapun yang dilakukan hanya atas dasar keinginan sepihak tidak akan pernah bisa berujung pada kata bahagia. Kurasa berpisah memang jalan yang terbaik bagi kita berdua. Memulai hidup baru, berkenalan dengan rekan baru, menaruh perasaan pada orang baru, berbahagia tiada tara dengan kekasih baru. Lalu mungkin, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali sebagai sepasang teman lama yang tak pernah kehabisan bahan cerita. Bukan sebagai dua orang yang salah satunya ingin memiliki yang satu lagi selamanya, namun perasaannya tak pernah bisa terbalas.

Sekali lagi kulayangkan pandanganku pada pemandangan di balik jendela. Langit cerah seakan berbahagia menyambut kehidupan baruku tanpamu. "Mungkin memang sudah saatnya," pikirku, "sudah saatnya aku merelakanmu." Seketika itu jugalah langit penghujung Juli menjadi saksi keputusanku untuk kembali membahagiakan diri sendiri seperti yang mampu kulakukan sebelum aku sempat mengenalmu. Meski terasa berat. Meski pikiranku terus kembali pada masa-masa dimana kita selalu bersama. Meski hatiku masih tertinggal di bawah sana.

Yogyakarta, 24 Juli 2017

Thursday, October 27, 2016

Pergi dan (Tak)'kan Kembali - Tulisan Singkat tentang Scrabble (Lagi)

"You don't know what you have until it's gone."

Pertama kali bertemu dengan pepatah tersebut, hal yang spontan kupikirkan adalah 'halah omong kosong, aku sadar kok sama apa yang aku punya. Dasar orang-orang kurang bersyukur.' Namun begitu memasuki kelas 12, barulah aku tersadar bahwa aku telah kehilangan apa yang aku punya pada jenjang-jenjang sebelumnya; kebebasan.

Tepatnya, kebebasan untuk mengikuti perlombaan tanpa begitu memusingkan nilai-nilai akademis seperti yang kualami sekarang. "Mengejar sertifikat untuk jalur-jalur masuk universitas," begitu dalihku saat masih semangat-semangatnya berlomba. Namun motivator utamaku tak pernah berubah, yakni rasa cinta pada cabang lomba yang seakan menjadi bahan bakar dalam diriku dulu; Scrabble.

Aku tahu, mungkin terdengar berlebihan. Hanya saja aku tak bisa lepas dari manis-pahitnya kompetisi. Manis saat memenangkan beberapa permainan sulit, mendapat VP dan menambah margin, dan mengenal banyak orang baru. Pahit saat mengalami kekalahan yang tak diduga, berkali-kali gagal masuk ke jajaran peringkat atas, dan diremehkan karena tak sekalipun menjadi juara.

Aku menulis ini bukan untuk menyalahkan nasib, pun lari dari tanggung jawab dan kembali ke masa-masa yang indah itu. Aku hanya ingin menjadikan tulisan ini sebagai tanda bahwa dulunya, aku punya sesuatu yang begitu berarti. Sesuatu yang mengubah sosokku yang biasanya cepat putus asa, menjadi pantang menyerah. Dan, sesuatu yang menjadi alasan bagiku untuk benar-benar hidup.

Suatu saat nanti, saat tanggung jawab sudah kutunaikan dan masa kelam ini telah sampai pada titik henti, aku akan kembali.

Friday, September 2, 2016

Tulisan Singkat tentang Scrabble (dan AEO)

15 Februari 2016, sekitar pukul 21:00 di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, bersama rekan-rekan pemain Scrabble yang saat itu akan mewakili SMAN 8 dan SMKN 2 Pekanbaru dalam kompetisi Asian English Olympics (AEO) yang diselenggarakan oleh Universitas Bina Nusantara.

Tak terasa sudah lebih dari setengah tahun berlalu sejak kami, bocah-bocah SMA yang mencintai Scrabble, berangkat ke Jakarta untuk "bermain" disana. Ya, mungkin beberapa orang memandang kami sebagai sekumpulan bocah yang tergila-gila pada permainan anak-anak. "Cuma nyusun-nyusun kata doang, apa susahnya? Kalau pandai bahasa Inggris mah pasti bisa," tak jarang aku hanya dapat menanggapi komentar-komentar itu dengan senyuman, walau dalam hati sedikit kesal. Mungkin memang tidak semua orang cukup beruntung untuk dapat melihat keunikan permainan ini.

Aku tidak ingin menjelaskan lebih lanjut tentang detil-detil permainan Scrabble, namun satu hal yang aku cintai dari permainan ini adalah bagaimana ia dapat mempertemukan orang-orang dari lembaga pendidikan, kota, provinsi, dan bahkan negara yang berbeda. Melalui lomba Scrabble lokal, aku dapat mengenal kakak-kakak panitia dan partisipan yang umumnya anak SMA dan kakak-kakak kuliahan. Melalui perlombaan Scrabble-lah kebanyakan orang mencoba berteman dan bercengkerama dengan orang-orang yang tadinya berada di sisi lain papan sebagai lawan.


Thanks to Agung (Samarinda, sekarang mahasiswa UMN) for the awesome shot!

Bagaimana dengan AEO? Hal istimewa pertama yang kudapat dari AEO adalah berlatih dan berangkat bersama berbagai institusi di Pekanbaru demi mengikuti perlombaan ini. Aku dan adik kelasku dari SMAN 8 bergabung dengan rombongan yang terdiri dari murid-murid SMKN 2 dan SMA Muhammadiyah 1 serta mahasiswa UIN SUSKA dan UNRI. Perbedaan tidak menghalangi kami untuk mengakrabkan diri. Pagi, siang, sore, malam selalu ada obrolan, canda-tawa, ledekan, dan bahkan argumen di antara kami, entah itu di bandara, di bus pulang-pergi, di Binus Square, di tempat makan yang dekat dengan penginapan, dan tempat-tempat lain yang kami kunjungi bersama. (Rindu deh sama Erlangga, Alvin, Nazi, Ardi, Praset, Iqbal, Aryo, Bang Deni, Bang Nanda, sama Kak Yasmin. Kapan ikut lomba bareng lagi? 😢)


Dari kiri (yang pakai baju biru) ke kanan: Alvin, Bang Deni, Prasetyo, Ardiansyah, Nazifah, Iqbal, Erlangga, Aryo, Aku, Bang Nanda. (Kak Yasmin sudah pulang duluan karena suatu perihal)

Selain menyatukanku dengan berbagai rekan dari Pekanbaru, melalui AEO-lah aku dapat berkenalan dengan beberapa kakak mahasiswa Binus selaku panitia acara, dan tentu saja dengan peserta-pesertanya yang datang dari berbagai kota di Indonesia (Pekanbaru, Jakarta, Samarinda, Palembang, Bengkulu, Lampung, dsb) dan bahkan dari negara lain (Filipina, Malaysia, dsb). Bahkan hingga kini, ada beberapa teman yang masih sering mengobrol denganku melalui media sosial. Kuharap kita bisa bertemu lagi di lomba-lomba lainnya. :)

Dan terakhir, yang membuat AEO tak bisa kulupakan, ialah karena AEO telah mengajarkanku bahwa tak selamanya kemenangan menjadi tolak ukur kebanggaan dan kebahagiaan. Memang, melalui AEO aku bertemu dengan pemain-pemain Scrabble terbaik Indonesia dan sadar bahwa kemampuanku masih sangat, sangat jauh di bawah mereka. Namun dari kekalahanku, aku dapat belajar banyak hal dan terus bersemangat mengembangkan kemampuan yang aku miliki. "You win some, you lose some, but you should learn all the time", itulah pelajaran yang kudapatkan setelah berkali-kali dikalahkan oleh lawan yang berada di sisi lain papan permainan. Technically, I lost the competition, but I'm proud of what I've become afterwards.


Peserta dan panitia AEO 2016, di-take 2 kali karena gak muat semuanya dalam satu foto. Hayo aku yang mana
Beberapa foto di hari terakhir pelaksanaan Scrabble AEO 2016

Saat ini aku sudah duduk di kelas 12, dan sepertinya tidak bisa lagi memfokuskan diri pada Scrabble untuk setahun mendatang. Ada banyak hal yang lebih pantas untuk diprioritaskan, sehingga mau tak mau aku harus mengesampingkan keinginan untuk bermain Scrabble jauh-jauh lagi. Rindu? Tentu saja aku sangat merindukan suasana latihan, kompetisi, dan kebersamaan yang diciptakan oleh permainan papan yang "sederhana" itu. Namun kuharap, suatu hari nanti, aku dapat kembali ke dunia Scrabble dan menekuninya lagi... kemudian berlomba mewakili universitas manapun yang mau menerimaku sebagai mahasiswanya. Aamiin.


**************************

Di tulisan (tidak) singkat berikutnya, mungkin aku akan menceritakan secara spesifik tentang orang-orang terpenting yang pernah kukenal dari dunia Scrabble, yakni seluruh anggota CIBI English Divisi Scrabble. Mereka adalah:


  • Kak William Chandra. Kakak yang biasa dipanggil Kak Will atau kak WC ini merupakan pendiri divisi Scrabble di CIBI English SMAN 8 Pekanbaru. Sekarang, Kak WC telah melanjutkan pendidikannya di ITB.
  • Maharani Ayuputeri Wijaya, yang biasa dipanggil... Pret. Pret adalah murid kelas akselerasi, yang membuatnya lulus lebih cepat dari anak-anak seangkatannya. Saat ini, Pret sedang menjalani ospek di kampus barunya, UNAIR.
  • Agam, Bita, Dodo, dan Isan, teman-teman seangkatanku yang kini tengah duduk di tingkat akhir SMA.
  • Abi, Akbar, Erlangga, Fadli, Icha, Tito, dan Ravina, adik-adik kelasku yang meneruskan kepengurusan divisi, dan sedang fokus melatih adik-adik kelas 10.

Foto 1: 22 Mei 2015, bersama seluruh junior CIBI English Divisi Scrabble 2014/2015. Dari kiri ke kanan: Dodo, aku, Isan, Agam, Pret, Bita
Foto 2: November 2015, beberapa anggota Divisi Scrabble 2015/2016 dan pembina di perlombaan English Olympics (EO) 2015 yang diadakan oleh UIN SUSKA Riau.
Belakang (dari kiri ke kanan): Fadli, Akbar, Ma'am Falin, Icha
Depan (dari kiri ke kanan): Isan, Erlangga, Tito, Abi, aku, Bita, Ravina

Mungkin sebaiknya kusudahi saja tulisan singkat yang tampaknya sudah menjadi panjang ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya, yang mungkin saja akan mengisahkan tentang orang-orang yang telah membuat masa SMAku menjadi sedikit lebih menyenangkan. :)

Wednesday, December 30, 2015

Just a random post about music

Sewaktu aku mulai nulis ini, aku lagi dalam perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Location di notes-ku sih bilangnya aku lagi di Cikarang, Jawa Barat. Hahaha anggap ajalah fyi ya. Btw... Duh, kok awkward gini rasanya nulis di blog ya? Mungkin efek udah nyaris setahun gak nulis, hehe. Bukannya gak mau nulis, malahan selama 2015 ini I've made several attempts to write here, tapi ya... selalu gagal. Kali ini insya Allah berhasil deh.

Sambil nulis ini, aku lagi dengerin album Muse yang terbaru, Drones, yang diputar di mobil sewaan kami. Yah, selama dua hari di Jakarta, aku, papa, sama adekku sibuk nyariin kaset. Hasilnya kami dapet 4. Ada Drones-nya Muse, A Head Full of Dreams-nya Coldplay, Save Rock and Roll-nya Fall Out Boy (sebenernya aku mau yang terbaru, tapi yah kehabisan) sama... satu lagi gak bakal ada yang tau... Wonders of the Younger-nya Plain White T's. Hahahahahaha I'd bet you didn't know the band, because even my father was like "ini band apa?" When I took it from the store. Ya aku aja gak nyangka itu tuh dijual disini, soalnya emang gak terkenal dan aku denger full albumnya juga di deezer. Bodoamat dah, pokoknya it's one of my favorite albums. You should give it a listen.



Ngomongin kaset album gini, aku jadi pengen cerita tentang band yang aku dengar selama 2015.


Awal-awal 2015, aku masih tipe orang yang bodoamat tentang band. Yaa lagu apa yang enak didengar, mau nemu dari radio atau darimanapun, aku download. Pokoknya nggak peduli lah itu band atau penyanyinya siapa, boro-boro punya band favorit. Paling banter juga suka Peterpan, band yang menurutku band sejuta umat soalnya emang lagunya dikenal sama semua orang Indo.

Mulai masuk Maret 2015 alias bulan ulang tahunku, kayaknya masih sama... Sampe akhirnya adek aku entah kenapa beli kaset Avenged Sevenfold yang keluaran 2013, Hail to the King. He's not even a fan of metal or hard rock, jadi dia ngaku beli itu karena penasaran aja. Waktu kaset itu diputar di mobil mah nggak ada yang spesial, yang nempel di otak aku paling cuma "Haiiil to the king!" sama bagian gitarnya Heretic (duh jadi pengen denger). Dalam pikiran aku cuma, "oh jadi gini band Avenged Sevenfold tuh" which is... completely wrong karena HTTK tuh beda sama album-albumnya sebelumnya.

Yang akhirnya bikin aku denger lagu-lagu A7x lainnya itu, tak lain dan tak bukan, adalah kakak les aku. Ya waktu itu kan iseng-iseng buka twitter, terus aku follow lah kakak lesku ini. Waktu aku liat cover photo twitternya, ternyata itu cover albumnya A7x yang Nightmare. Wah anjer, jadi makin penasaran gitu sama band ini. Maka dari itu pada bulan Maret tanggal sekian belas, atas dasar rasa penasaran yang secara mendadak muncul, I opened youtube and searched for Hail to the King's full album track. Walau aku punya kasetnya, tapi di mobil aku nggak pernah benar-benar denger, jadi kali itu aku mau coba give it a better listen.

Waktu aku dengar bener-bener, aku lumayan suka lagu-lagunya. Favorite track aku tetap Heretic karena gitarnya enak. Lagu pertama, Shepherd of Fire, juga bagus. Yang lain juga oke, paling kalo denger 2-3 kali nanti suka juga, pikirku waktu itu. Yaa entah gimana, pokoknya akhirnya keterusan juga denger lagu-lagu A7x yang lain, denger albumnya yang Nightmare dan langsung suka yang judulnya Welcome fo the Family, iseng buka lyric videosnya secara random, cengar-cengir nonton video A Little Piece of Heaven (my absolute favorite song! 8 minutes worth of watching/listening, really), denger albumnya yang lain... Sampe akhirnya tanpa sadar, udah ngerasa kayak Avenged Sevenfold itu bener-bener band favorit.

So yeah you know, I'm pretty newbie about bands, jadinya isi hape aku waktu itu sumpah berderet lagu A7x semua ahahahahaha. Berminggu-minggu cuman denger lagu mereka, tetap betah denger lagu-lagunya yang rata-rata durasinya lebih dari 4 atau 5 menit (malahan lagu Save Me kalo nggak salah sampe 11 menit durasinya). Nah, saking bangganya punya band favorit, kupasanglah salah satu cover album mereka jadi display picture bbm. Yang ini nih:



Nah setelah aku pasang foto itu, ada temen aku di IPS yang komentar, namanya Fadjar. Ya intinya, ternyata dia suka A7x juga. Besok-besoknya kami sempat ngobrolin A7x pas aku ke kelas IPS 1, kelas berkumpulnya temen-temen deket aku hahaha. Dia bilang dia suka sama band yang namanya My Chemical Romance, tapi udah bubar. Yaudah, pokoknya entah kapan akhirnya aku tanya dia minta rekomen lagu MCR sama lagu Fall Out Boy (pasti tau Fall Out Boy kan? Yang nyanyiin soundtrack Big Hero 6 itu loh). Oh iya, selain itu Fafa, temen aku di IPS, juga rekomen ke aku dengerin album My Chemical Romance yang judulnya The Black Parade. So, pada awal bulan Mei 2015 yang bersejarah itu, mulailah aku dengar band yang gak pernah kupikir bakal jadi band favoritku itu...

Awalnya sih random aja dulu liat-liat music videonya. Awalnya aku biasa aja sama lagu-lagu mereka, sama sekali ga ngerasa bakal suka. Akhirnya I decided to give that The Black Parade album a listen. Aku inget banget tuh, dengerinnya dari aplikasi yang namanya TorchMusic, ya gimana kan soalnya kalo dari youtube audionya gabisa diputar pas appnya ditutup. Mulailah aku dengar albumnya...  (Iya Azz cepet aja yaelah)

Opening track, judulnya The End, yah okay. Second track... Judulnya Dead! (Iya, pake tanda seru emang), aku mulai mikir wanjir ini lagu mayan juga rupanya. Third track... This is How I Disappear. Good. So freaking good. Too good that I had to post it on my path account. Fourth track, The Sharpest Lives, made my mind explode as I thought DAMN THIS BAND IS DA BOMB.

Lambat laun, akhirnya aku suka sama semua lagu di album itu. Semuanya. I can't even choose a favorite. Well, mungkin yang paling unik yang judulnya Mama sih... Coba dengerin deh.

Anyway, sampe hari ini, album The Black Parade masih jadi album favoritku dari band manapun. Sumpah, it was a compilation of tracks with quality. I love the concept, the art, the lyrics, the music, everything. Damn I even decided to buy it online, played it on my car's stereo, and watched my brother slowly starting to like the songs too.


By the way, selain album itu, akhirnya aku juga punya album-album MCR lain... Kecuali album pertama yang keluaran tahun 2002 kalo gak salah. I wonder if that album is still on sale somewhere. Needless to say, I absolute LOVE the band and all of their tracks. They're so freaking unique with their album concepts, lyrics, and good music. Oh, and don't forget about the members' personalities. Gerard, Mikey, Frank, Ray... It was such a shame for the band to part - they were really good, y'know? I sometimes hope they'll make music together again, someday.

Setelah denger MCR, akhirnya aku jadi suka explore band-band lain, mulai dari Fall Out Boy dan Panic! At the Disco yang dianggap "sejenis" sama MCR (mereka bertiga disebut sebagai 'The Emo Trinity' alias trio emo), Arctic Monkeys, System of a Down, Coldplay, Muse, dsb. Pokoknya, entah kenapa hidup jadi lebih rame sejak mulai discover band-band kayak gini. It feels good to be able to discuss about music with other people, let alone finding people with similar taste of music with you. Kadang aku masih mikir juga, dulu sebelum aku nemu band-band ini... Hidup aku sedatar apa ya...

Hahahaha I guess that's it! Maaf postnya rada gaje gitu ya, apalagi bagi yang gak suka musik. I just need to write on this blog about how much I love bands now, especially alternative rock ones.

And now... Wait, I've got a list of bands I have to listen to. I'll stop for now. See you on my next post!

Sunday, February 1, 2015

Lima atau Sepuluh?

Aku lupa kapan pertama kalinya aku mengetahui, melihat, atau mendengar namamu. Rasa-rasanya aku pernah memandang wajah anak perempuan berambut lurus sang pemilik nama itu sepuluh tahun yang lalu. Rasa-rasanya pernah kulihat di daftar absensi kelas 1A yang tertempel di depan pintu, saat aku dan ibuku tengah mencari kelas pertama yang akan aku duduki semasa sekolah dasar. Rasa-rasanya pernah kudengar terucap dari mulut seorang teman kecil, entah siapa itu. Semua hanya memori samar.

Yang jelas teringat olehku hanyalah aku kecil yang dengan penuh rasa iri melihatmu maju ke depan saat upacara sebagai salah satu pemenang lomba mewarnai. Saat itu kita kelas 2 SD dan masih tak sekelas. Dengan kesal aku berpikir siapalah Adelia Salsabila Sudiana yang mengalahkan aku yang hebat ini.

Dan begitulah, kelas 3 dan 4 SD kujalani tanpa mengingat keberadaanmu lagi. Aku sibuk memerhatikan pelajaran, belajar, dan meraih peringkat pertama. Tak lagi kupedulikan tentang Adelia yang pernah menggagalkan ambisiku untuk menjadi juara di segala bidang yang aku minati.

Lalu tibalah saat itu. Kelas 5 SD. Saat akhir sekolah dasar sudah cukup dekat. Setelah lima tahun akhirnya nama kita tertera di kertas absensi yang sama. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah kau berpikir seperti itu juga.

Lantas apakah aku senang?

Tidak.

Keberadaanmu menggangguku. Maafkan aku, teman, namun aku pun kurang mengerti kenapa. Mungkin karena kau selalu dikelilingi teman-temanmu yang ramai, nyaris seluruh perempuan di kelas. Mungkin karena kau seringkali membuat lelucon dan tertawa, ceria sepanjang hari. Sangat berbanding terbalik dengan diriku yang dulu.

Aku masih ingat sosokmu yang memakai seragam kebanggaan SD Djuwita. Baju terusan dengan rok motif kotak-kotak dan tulisan "Djuwita" terselip diantaranya, ditambah rompi biru tua yang diatasnya terpampang logo sekolah. Rambutmu masih seperti terakhir kali aku melihatmu dulu, kurasa. Lurus tanpa poni. Di kepalamu seringkali tersemat bando berwarna hitam. Entah selalu hitam atau tidak, ingatanku tak sejauh itu.

Kau seorang yang pintar sejak kecil, meski aku tak begitu merasa tersaingi, karena peringkat satu selalu ada padaku. Ah, namun bukan berarti kau berhenti mengalahkanku. Suatu saat kepala sekolah kita masuk ke kelas untuk mengumumkan bahwa kau terpilih untuk mewakili sekolah mengikuti olimpiade IPA (Lucu, memang, mengetahui reaksimu tentang IPA sekarang). Aku masih ingat rasa kaget, sedih, dan iri yang bercampur aduk menjadi satu, rasa muakku saat kepala sekolah mengatakan suatu hal tentang stabilitas nilai, dan air mataku yang tergenang, siap meluncur di pipiku. Rasa tersaingi yang timbul semasa kelas 2 kembali menguasai diriku.

Kelas 6 SD ku melupakan semuanya. Lagi-lagi kita sekelas. Tak acuh, aku hanya fokus pada ambisiku untuk meraih nilai terbaik demi masuk ke SMP negeri yang aku idamkan.

Ternyata hidup ini memang tidak bisa kita duga-duga. Entah sejak kapan aku mulai benar-benar berbicara denganmu dan menemukan kenyamanan disana. Aku pun tak ingat apa saja yang kita obrolkan. Semua mengalir begitu saja. Ternyata kau juga suka menulis, sama sepertiku. Beberapa kali kita merencanakan sebuah cerita bersama. Tentang Venus Ethellins dan teman-temannya, tentang Autumn Verdugo dan rumah berhantu yang ditinggalinya. Aku masih ingat kover buku putih yang kita gunakan untuk menulis kisah Autumn. Apakah masih kau simpan?

Ada masa dimana aku berpikir kita tak akan bertemu lagi. Misalnya, saat kita akhirnya lulus sekolah dasar. Aku yang sempat turun peringkat di semester satu - dari peringkat satu yang tak terkalahkan menjadi peringkat tujuh - kembali merebut tahtaku dengan mendapat nilai Ujian Nasional dan nilai sekolah tertinggi di angkatan. Senyum tak dapat lepas dari bibirku yang menanti pergantian suasana di SMP negeri. Dan kau, entahlah, tampaknya juga begitu. Entah kenapa aku yakin kau tak akan satu sekolah denganku.

Namun sekali lagi, hidup ini memang tidak bisa kita duga-duga. Pada akhirnya, sesuai dengan permintaan ibuku, aku kembali menjalani masa-masa belajarku di sekolah swasta. SMP Darma Yudha. Sudahlah, terima saja apa yang terjadi. Dalam hati aku penasaran kau akan melanjutkan sekolah kemana.

"Azz, aku juga masuk Darma Yudha!" Pesanmu termpampang jelas diatas layar ponsel Nokia C3-ku, tiga setengah tahun yang lalu. Dasar, pikirku. Lagi-lagi satu sekolah denganmu.

Maka begitulah, kita sekelas lagi hingga dua tahun kemudian. Nilai-nilaimu meningkat, bersamaan dengan nilai-nilaiku yang menurun, hanya saja aku tak lagi memedulikan itu. Kurasa aku mulai berubah menjadi lebih terbuka, dibanding sebelum aku dekat denganmu. Perlahan tapi pasti sifat ambisius, arogan, dan perasaan tersaingiku dipudarkan oleh waktu.

Kelas 3 SMP kita tak lagi sekelas, namun sudah terlalu dekat untuk berhenti mengobrol dengan satu sama lain.

Dan SMA, yah lagi-lagi satu sekolah denganmu. Kau yang dulunya sempat berkata sekilas tentang keinginanmu untuk masuk IPA, kini ada di IPS. Dan aku yang bertekad kuat untuk masuk IPS, justru berada di IPA.

Pertemanan kita terasa sudah lama sekali. Namun, hal lain yang tak dapat kita pungkiri, segalanya juga terasa cepat berlalu.

Hidup memang aneh.

Atau mungkin, kita yang aneh.

---

Maka saat aku melihat inbox ask.fm-ku yang penuh dengan pertanyaan terabaikan, pandanganku tak lepas dari "pertanyaan" - yang cenderung ke "pernyataan" - yang kau kirimkan dengan maksud bercanda ini.

"Gak kerasa udah lima tahun aja ya," begitu katamu.

Lima tahun... Benarkah baru lima tahun berlalu?

Kemudian aku mulai menulis.

Saturday, January 3, 2015

Surviving 2014: Memoirs of the Previous Year(s)

I hope writing this kind of post on the third day of a new year is quite forgivable.

2012 was such a sweetheart, albeit having a strong flavor of bitter-sweetness. On the year's first half, I got a taste of first (unrequited) love, first heartbreak and all the disgusting cheesy stuff everyone must have experienced (or will experience) at some early phase of  their teenage years. Oh well, writing it here makes me feel so yucky, I apologize, but I have no other choice other than getting it written. The year's second half was way better. Many amazing things happened - and it, more or less, changed my perspective on life, on myself, and the whole world. I realized many things about myself that time; especially the fact that I wasn't just another kid that wanted to study and come up with high grades to satisfy herself and her parents. And so it began, the times when I worked my ass off to practice English, create a school blog, write, and draw for the sake of my own self, and for the appreciation and compliments from people around me because being not known sucks. I didn't want to be clever. I wanted to be recognized.

On the other hand, 2013 was such, pardon me, a complete asshole. I was recognized, I guess. Loads of people talked to me due to my creation of a school blog which many people complimented as funny and brilliant. But did I feel, even a bit, happiness or pride as if I'd reached a great accomplishment? Surprisingly, it's a big no. Why? Consider this; there's a great difference between being loved because of who you are (your personality, your looks, how you talk, those kind of things) and being popular because of what you have created. Both are equally sweet, I once thought to cheer myself up, but what would happen if I'd never come up with the idea of creating that blog in the first place? Would they ever, at least, love me as a person? No. Would they talk to me with admiration? No, because I'm just another not-so-good-looking girl with an awkward personality and nothing nice enough to like about. Needless to say, this realization wasn't a good thing for the beginning of my teenage years, as it affected my self-esteem a bit too much. Not to mention the things that followed after; having my parent being called by my homeroom teacher, seeing my friends ripping off the article I'd written and printed wholeheartedly, losing the people who meant a lot to me, and other things I don't want to recall right now as they used to kill me a bit inside.

So when 2014 readily served a new chapter each for all seven billions lives on this planet Earth, I couldn't help but wonder about what pattern has God prepared for me that year and all the years to come - if I happened to live long enough, that is. For instance, 2012 was a nice year, and 2013 wasn't. So was 2014 going to be as nice as 2012 (a.k.a repeating the pattern), or was it going to be shittier than 2013 (a.k.a having the graph goes downward)? I didn't know. No one knew.

I have little to no memory about the beginning of 2014, except for the time when the trumpets were blown and the fireworks were set as my brothers barged into my bedroom to give me their brotherly new-year-hug. Oh, and also the time when I opened twitter to discover a horror picture and turned out to be all "oh shit, this is gonna be a shitty year all along". January, nothing happened. So did February, except for the birthday of someone special but that didn't contribute much. March, I had the loneliest birthday ever... Somehow. April, a hectic month full of examinations, both practical and written. May, national exams followed by a quite fun preparation for farewell party, then the party itself, then a study tour and finally my last class farewell event in junior high... Ever. June, when hard work got paid off; a pretty good national exam results, but probably not good enough to get into the town's - or perhaps the province's - most wanted high school. July, when I was finally able to sigh in relief as I stepped on SMAN 8 Pekanbaru's territory, but my days weren't conflict-free either. August, choices were made. September, October, November, December... Things have gone on too quickly ever since - and life's getting better all the time, I suppose.

If 2014 was a chapter in my life (in my case, the 15th chapter), it sure wasn't a typical one where things immediately got better after all the conflicts in the previous chapter. It was, in fact, a slowly progressing one. The first four sub-chapters made it seem as if all the conflicts would continue instead of being resolved. The fifth gave a break to the main character, so did sixth which explained how things weren't as messed up as they actually seemed. Seventh offered a whole new circumstance for the main character. Eighth, instead of serving the solutions to all problems, was where the main character was stuck in between choices; and in this case, the whole Sciences-or-Social thing.


I've been having an interest in sciences since I was little. My brother and I used to collect many, many books related to the sciences, and since we were just mere little kids who loved decent pictures a bit too much, all of them were in the form of comic books. When I was in my third year of elementary my father bought me a set of encyclopedias, which made my interest in sciences grow even more. I scored higher in sciences than I did in social studies, and perhaps any other subjects.


But as I entered junior high realization kicked in - that I fell in love with the world of literature, aesthetics, and social studies, too. I wrote many things to myself because I was too shy to show other people, drew well in art class, and studied hard in social studies. I abandoned my love for sciences, my admiration to Gregor Mendel, my will to learn more about atoms and how it made all the things in the universe, and other things I was supposed to love the most. Journalism was my life goal, which I would probably never achieve for now, because high school reminded me of my love for sciences again. The psychology test that "forced" me to be in sciences, despite my ambitions in social studies and linguistics. The inability to refuse and move to social studies. I was in dilemma, for I knew I was no longer the brilliant student in sciences. But no matter what the circumstance was, the choice had to be made. Some choices are made unwillingly, others freely decided. But all choices affect lives... And so I decided to go on with sciences. It might hurt at first, leaving a huge dream. But meeting sciences wasn't a bad experience - it felt quite right. It felt like meeting an old friend.


Ninth, tenth, eleventh, twelfth. Aforementioned in the fourth paragraph above this sentence, things have unbelievably gone so fast. Reuniting with elementary friends, new group of friends, new activities to learn (debating, scrabble, poetry writing even though not seriously, etc), all the ups and downs... It wasn't an easy journey, but I'm quite grateful for the year, for the new experiences, for the choices I made albeit I messed them up a bit too much. Being in sciences didn't make it easier for me, but I'm sure it will, for things get better all the time if you keep on being optimistic and consistent with your choice. Oh, and hard work, don't forget to include that in the equation. I lacked in hard work, I guess.


It wasn't the best year ever. But it was - indeed - a precious, memorable one.