Vir, Von, Djar, this one's for you.
Sahabat SMA yang bertahan hingga kuliah memang biasa. Namun, kelompok pertemanan yang terbentuk setahun-dua tahun setelah pisah kampus terasa seperti konspirasi semesta.
Setidaknya begitulah yang aku pikirkan tentang pertemananku dengan tiga orang hebat yang merupakan teman-temanku di SMA. Tepatnya, teman-temanku di Klub Bahasa Inggris atau CIBI English sekolah kami.
Sebenarnya masing-masing dari mereka bukanlah orang asing. Ketiganya merupakan teman dekatku, namun dari lingkaran yang berbeda-beda. Davon, teman SD yang mulai akrab sejak SMA hingga kuliah. Fadjar, pecinta musik dari IPS yang lama-kelamaan menjadi teman bercerita paling asyik. Savira, teman SMP hingga SMA, orang yang sempat menjadi tempat curhat utamaku meski berada di kelas akselerasi. Oh, ya, ketiganya merupakan anggota divisi Speech dari CIBI English, para orator ulung. Hanya saja, ide untuk membuat sebuah geng bersama anak Debate merangkap Scrabble sepertiku terasa absurd andai kau tidak mengetahui kisahnya.
Semua berawal dari buka bersama CIBI English yang terjadi setahun setelah kami lulus. Ms Moniek, guru Bahasa Inggris kami dari Amerika, saat itu tengah berkunjung kembali ke Pekanbaru. Tentu saja kami sebagai anak CIBI yang sangat akrab dengannya sangat antusias untuk berkumpul dan menemuinya.
Parsley, 12 Juni 2018. Petang hingga malam itu kami lalui dengan penuh sukacita. Ms Moniek yang memang baik hati dan pengertian lantas memberi masing-masing dari kami oleh-oleh dari Amerika. Untukku, beliau memberiku bookmark magnetik karena beliau tahu aku senang membaca. She knows me too well! Tentu saja aku sangat menyukainya (Ms Mo, if you're reading this, I love you!!). Kemudian, tentu saja dilanjutkan dengan sesi foto-foto dan selfie. Aku ingat saat itu kami agak kesulitan karena kami cukup ramai dan pencahayaannya pun sedang kurang bagus karena sudah malam. But still, we had lots of fun.
Hingga tibalah momen yang secara tidak langsung mengubah hidupku hingga sekarang. Entah bagaimana mulanya, aku, Savira, Fadjar, dan Davon sepakat untuk pergi ngopi berempat setelah semua bubar. Kebetulan, saat itu Savira dan Fadjar sama-sama membawa mobil. Akhirnya dengan agak terburu-buru kami masuk mobil sesuai pembagian yang kami buat; aku bersama Savira, Davon bersama Fadjar. Entah kenapa, saat itu we got a feeling bahwa kami hanya ingin menghabiskan sisa hari itu berempat saja. Maybe the chemistry was already set back then.
If love at the first sight exists, does friendship in the first hangout do too? Karena entah kenapa, saat kami berempat akhirnya berkumpul di mobil Savira dan menyeruput minuman dari Kulo, kami langsung merasa sangat nyambung. As far as I can remember, it feels like we've been a group for so long. Langsung saja malam itu menjadi malam penuh tawa dan, oh ya, penuh gibah juga tentunya (ups). Pokoknya, it was a really great start for a friendship.
Setelah malam itu, tentu saja pertemanan kami tidak langsung bubar. Entah bagaimana akhirnya kami membuat multichat berempat dan berencana untuk hangout bareng lagi, yang terealisasikan kira-kira sebulan setelahnya, sebelum kami kembali ke perantauan masing-masing. Aku lupa berapa kali kami jalan bareng pada liburan itu, kurasa lebih dari sekali. But still, we talked, we laughed, we took snapshots in the photo box, we were happy. Entah bagaimana pertemanan yang baru saja dimulai itu akhirnya menjadi highlight dari liburan semester keduaku, dan ke depannya, salah satu highlight dari hidupku.
Di luar pertemuan langsung, kami jauh dari apa yang kalian bayangkan sebagai sebuah geng yang berinteraksi 24/7. But that's what makes every meeting interesting. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan kami di antara setiap pertemuan, sehingga banyak pula cerita yang bisa kami sampaikan. Yah, tentu saja kami hanya bisa berkumpul saat libur semester karena aku dan Davon berada di Jogja, sementara Savira dan Fadjar di Bandung (sebenarnya Fadjar di Bandung coret, sih, tapi ya sudahlah ya).
Maka dari itu, kerap kali terjadi pergantian status saat kami akhirnya bisa bertemu lagi. Yang awalnya single, taken, single lagi? Ada. Yang awalnya taken lalu single? Ada. Yang single seumur hidup? Wah, ada juga tentunya. Tidak usah dirincikan siapa yang mana ya, hehe. But aside from that, tentu saja isi kehidupan dan pembicaraan kami tidak hanya tentang cinta-cintaan saja. Aku masih ingat pada suatu pertemuan yang agak maksa karena Savira sebenarnya sedang bersama keluarganya, Solaria Mal SKA menjadi saksi dari banyaknya masalah hidup yang kami hadapi dan keputusan-keputusan yang mesti kami ambil. Untungnya, masing-masing dari kami dapat membantu menawarkan solusi atau minimal empati pada setiap permasalahan yang kami masing-masing hadapi. It was such a quality talk, a quality time. Something I really appreciate these days.
Desember 2019 hingga Januari 2020 menjadi pengingat bagi kami bahwa masing-masing dari kami memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Pada masa itu, meski kami sama-sama sedang libur akademik, kami berempat berada di kota, bahkan negara, yang berbeda-beda. Savira yang sedang di New York bersama keluarganya. Fadjar yang sedang magang di Singapura. Davon yang sedang exchange di Penang. Dan aku, yang sedang magang di Riau. Masing-masing dari kami sibuk dengan urusan masing-masing, nyaris pasrah pada kenyataan bahwa kami tidak bisa berkumpul pada liburan kali ini. "Bagaimana jika kami sudah lulus nanti, ya?" Pikirku suatu waktu.
But miracles do happen. Perhaps the stars were aligned. Maybe God has a plan. Suatu hari di penghujung liburan, tiba-tiba saja Savira mengabarkan bahwa dia akan pulang ke Pekanbaru. Kira-kira begini isi percakapannya;
Savira: "Besok aku ke Pekanbaru! Tapi aku cuma sampe Senin depan..."
Fadjar: "Aku pun dah pulang, HAHA"
Savira: "Kau di PKU juga Jar?"
Fadjar: "Iya di PKU, Nangor Jumat depan"
Aku: "Jumat ini ketemu gimana?"
Davon: "Aku bisaa"
Savira: "HAYUK, kok pas banget sih wkwk"
Davon: "Hayuklahh gass!"
Fadjar: "Jumat? Maaf ya we"
Kami: "Hah kenapa..."
Fadjar: "... Aku bisa"
Aku: "******"
Setelah berbagai revisi dalam perencanaan, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu hari Sabtu sore di Living World. Aku yang masih magang di Kerinci saat itu dengan semangat mengangkut bawaanku ke bus tujuan Pekanbaru, siap untuk langsung menemui teman-temanku. Benar saja, setelah aku tiba dan beristirahat sebentar di rumah, Fadjar dan Davon pun datang menjemputku dengan mobil Fadjar. Setelah itu, barulah kami pergi menjemput Savira di rumahnya.
Seusai sesi nyanyi Lover is a Day bersama Fadjar yang sering kuledek sad boi serta ramah-tamah dengan mama Savira, akhirnya kami meluncur ke Living World. Semua cerita menarik berusaha kami tahan agar disampaikan nanti saat kami sudah duduk makan saja. Setelah memilih tempat makan serta makanan yang akan kami santap, barulah akhirnya kami meletakkan ponsel masing-masing di tengah meja dan saling lempar siapa yang mesti bercerita duluan.
"Si Azz semangat naruh hapenya duluan, kaulah cerita dulu Azz..."
"Ha, kok aku pulak? Savira tu lah, kan dia yang paling bikin kepo!"
"Ehh nggaklah..."
Begitu terus, hingga akhirnya giliran pertama bercerita jatuh pada Savira. Cukup menarik memang kisah mahasiswa berprestasi STEI ITB ini, sayang kalian tidak dapat mengetahuinya, hehe. Pokoknya, aku, Fadjar, dan Davon sangat absorbed pada ceritanya dan menyimak dengan serius.
"Ya, gitulah ceritanya," rangkum Savira akhirnya sembari menyeruput tehnya. "Pahit, sih, memang..."
Hening sejenak.
"Tehnya, Vir?"
"Hah?"
"Hah?"
Savira memandang kami kebingungan, hingga akhirnya tertawa. "Maksud aku keadaan... Tapi iya sih dua-duanya..."
Akhirnya kami tergelak bersama atas ke-absurd-an yang baru saja terjadi. Duh, memang tipikal kami, ada saja yang bisa ditertawakan setelah suasana serius. Akhirnya, setelah Savira menyelesaikan ceritanya, dengan agak terpaksa aku menyampaikan ceritaku yang sebenarnya tak kalah seru. Davon yang sudah tahu jalan ceritanya pun meraih ponselnya, sementara Savira dan Fadjar menyimak dari awal sampai akhir. Cerita pun masih berlanjut bahkan saat kami akhirnya sudah di mobil untuk ke tujuan lain kami hari itu.
"Begitulah keadaan Azzahra nih, memang pelik," ujar Davon untuk yang kesekian kalinya, sampai-sampai aku, Savira, dan Fadjar selalu tertawa jika Davon mengucapkan kata itu lagi. Duh, pelik!
Akhirnya, kami menghabiskan waktu hingga tengah malam bersama-sama, dan diantar dengan selamat oleh Fadjar ke rumah masing-masing tentunya. Banyak sekali keseruan yang terjadi selain cerita-cerita kami yang ngawur; masuk ACE Hardware cuma untuk numpang foto, berfoto lagi di sudut lain mal, mengobrol seru dan memutar lagu di mobil, makan sate padang di Sate Bundo Kanduang yang sudah lama diidamkan, hingga akhirnya duduk di KFC untuk melanjutkan sesi cerita hingga tengah malam. It was a really meaningful meeting. Sepanjang pertemuan itu, aku berkali-kali bersyukur diberi kesempatan untuk berkumpul dan berbagi suka-duka dengan orang-orang yang aku sayangi itu.
Kini, meski sama-sama berada di Pekanbaru, mau tak mau kami harus menahan diri untuk tidak bertemu satu sama lain dikarenakan pandemi yang sedang berlangsung. Memang pahit dan pelik, ya. Untungnya, di sela-sela kesibukan kami selama swakarantina ini, kami sempat mengobrol lewat Zoom sebelum Davon mengeluarkan titah untuk menghapus aplikasi tersebut (ya, kurasa kalian tahu sendiri kenapa). Seperti biasa, kami sedikit banyak membicarakan kisah hidup masing-masing, saling mengomentari dan mencari apa yang bisa ditertawakan dari pahit dan peliknya kehidupan serta kebodohan-kebodohan kami.
"Dahlah, intinya kita berempat sama-sama bongak," ujar Fadjar akhirnya. Entah kenapa kami bertiga setuju.
Saat menuliskan ini semua, aku jadi sadar betapa aku merindukan ketiga temanku itu dan betapa berharganya waktu yang bisa kami habiskan bersama. Kini pulang ke Pekanbaru terasa tak lagi sama tanpa pertemuan dengan mereka, dan meski teknologi dapat memudahkan kami dalam meraih satu sama lain, tentu saja semua itu tidak ada tandingannya dengan saat-saat dimana kami duduk berempat dan saling mendengarkan cerita masing-masing tanpa kewajiban yang mesti dikerjakan. Semoga saja setelah semua ini usai, hubungan kami makin erat dan tiap pertemuan akan semakin hangat. I have faith that everything is gonna be okay between us.
Untuk Savira, semangat kerja dan skripsiannya. Kau hebat. You're destined for great things, I'm sure of it. Let us know when we can catch up with you!
Untuk Fadjar, kau menyebalkan, tapi kau hebat. Semoga kisah kau selalu dapat menginspirasi kami. Semangat berkarya, ya, aku tunggu gebrakan dari kau.
Untuk Davon, sesekali kirim masakanmu ke kami, dong! Hehe, canda deng. Semangat terus belajar masaknya dan untuk segala hal yang dilakukan selama karantina!
Senang bisa mengenal kalian. Sampai jumpa segera!
Sahabat SMA yang bertahan hingga kuliah memang biasa. Namun, kelompok pertemanan yang terbentuk setahun-dua tahun setelah pisah kampus terasa seperti konspirasi semesta.
Setidaknya begitulah yang aku pikirkan tentang pertemananku dengan tiga orang hebat yang merupakan teman-temanku di SMA. Tepatnya, teman-temanku di Klub Bahasa Inggris atau CIBI English sekolah kami.
Sebenarnya masing-masing dari mereka bukanlah orang asing. Ketiganya merupakan teman dekatku, namun dari lingkaran yang berbeda-beda. Davon, teman SD yang mulai akrab sejak SMA hingga kuliah. Fadjar, pecinta musik dari IPS yang lama-kelamaan menjadi teman bercerita paling asyik. Savira, teman SMP hingga SMA, orang yang sempat menjadi tempat curhat utamaku meski berada di kelas akselerasi. Oh, ya, ketiganya merupakan anggota divisi Speech dari CIBI English, para orator ulung. Hanya saja, ide untuk membuat sebuah geng bersama anak Debate merangkap Scrabble sepertiku terasa absurd andai kau tidak mengetahui kisahnya.
Semua berawal dari buka bersama CIBI English yang terjadi setahun setelah kami lulus. Ms Moniek, guru Bahasa Inggris kami dari Amerika, saat itu tengah berkunjung kembali ke Pekanbaru. Tentu saja kami sebagai anak CIBI yang sangat akrab dengannya sangat antusias untuk berkumpul dan menemuinya.
Parsley, 12 Juni 2018. Petang hingga malam itu kami lalui dengan penuh sukacita. Ms Moniek yang memang baik hati dan pengertian lantas memberi masing-masing dari kami oleh-oleh dari Amerika. Untukku, beliau memberiku bookmark magnetik karena beliau tahu aku senang membaca. She knows me too well! Tentu saja aku sangat menyukainya (Ms Mo, if you're reading this, I love you!!). Kemudian, tentu saja dilanjutkan dengan sesi foto-foto dan selfie. Aku ingat saat itu kami agak kesulitan karena kami cukup ramai dan pencahayaannya pun sedang kurang bagus karena sudah malam. But still, we had lots of fun.
Hingga tibalah momen yang secara tidak langsung mengubah hidupku hingga sekarang. Entah bagaimana mulanya, aku, Savira, Fadjar, dan Davon sepakat untuk pergi ngopi berempat setelah semua bubar. Kebetulan, saat itu Savira dan Fadjar sama-sama membawa mobil. Akhirnya dengan agak terburu-buru kami masuk mobil sesuai pembagian yang kami buat; aku bersama Savira, Davon bersama Fadjar. Entah kenapa, saat itu we got a feeling bahwa kami hanya ingin menghabiskan sisa hari itu berempat saja. Maybe the chemistry was already set back then.
If love at the first sight exists, does friendship in the first hangout do too? Karena entah kenapa, saat kami berempat akhirnya berkumpul di mobil Savira dan menyeruput minuman dari Kulo, kami langsung merasa sangat nyambung. As far as I can remember, it feels like we've been a group for so long. Langsung saja malam itu menjadi malam penuh tawa dan, oh ya, penuh gibah juga tentunya (ups). Pokoknya, it was a really great start for a friendship.
Setelah malam itu, tentu saja pertemanan kami tidak langsung bubar. Entah bagaimana akhirnya kami membuat multichat berempat dan berencana untuk hangout bareng lagi, yang terealisasikan kira-kira sebulan setelahnya, sebelum kami kembali ke perantauan masing-masing. Aku lupa berapa kali kami jalan bareng pada liburan itu, kurasa lebih dari sekali. But still, we talked, we laughed, we took snapshots in the photo box, we were happy. Entah bagaimana pertemanan yang baru saja dimulai itu akhirnya menjadi highlight dari liburan semester keduaku, dan ke depannya, salah satu highlight dari hidupku.
Di luar pertemuan langsung, kami jauh dari apa yang kalian bayangkan sebagai sebuah geng yang berinteraksi 24/7. But that's what makes every meeting interesting. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan kami di antara setiap pertemuan, sehingga banyak pula cerita yang bisa kami sampaikan. Yah, tentu saja kami hanya bisa berkumpul saat libur semester karena aku dan Davon berada di Jogja, sementara Savira dan Fadjar di Bandung (sebenarnya Fadjar di Bandung coret, sih, tapi ya sudahlah ya).
Maka dari itu, kerap kali terjadi pergantian status saat kami akhirnya bisa bertemu lagi. Yang awalnya single, taken, single lagi? Ada. Yang awalnya taken lalu single? Ada. Yang single seumur hidup? Wah, ada juga tentunya. Tidak usah dirincikan siapa yang mana ya, hehe. But aside from that, tentu saja isi kehidupan dan pembicaraan kami tidak hanya tentang cinta-cintaan saja. Aku masih ingat pada suatu pertemuan yang agak maksa karena Savira sebenarnya sedang bersama keluarganya, Solaria Mal SKA menjadi saksi dari banyaknya masalah hidup yang kami hadapi dan keputusan-keputusan yang mesti kami ambil. Untungnya, masing-masing dari kami dapat membantu menawarkan solusi atau minimal empati pada setiap permasalahan yang kami masing-masing hadapi. It was such a quality talk, a quality time. Something I really appreciate these days.
Desember 2019 hingga Januari 2020 menjadi pengingat bagi kami bahwa masing-masing dari kami memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Pada masa itu, meski kami sama-sama sedang libur akademik, kami berempat berada di kota, bahkan negara, yang berbeda-beda. Savira yang sedang di New York bersama keluarganya. Fadjar yang sedang magang di Singapura. Davon yang sedang exchange di Penang. Dan aku, yang sedang magang di Riau. Masing-masing dari kami sibuk dengan urusan masing-masing, nyaris pasrah pada kenyataan bahwa kami tidak bisa berkumpul pada liburan kali ini. "Bagaimana jika kami sudah lulus nanti, ya?" Pikirku suatu waktu.
But miracles do happen. Perhaps the stars were aligned. Maybe God has a plan. Suatu hari di penghujung liburan, tiba-tiba saja Savira mengabarkan bahwa dia akan pulang ke Pekanbaru. Kira-kira begini isi percakapannya;
Savira: "Besok aku ke Pekanbaru! Tapi aku cuma sampe Senin depan..."
Fadjar: "Aku pun dah pulang, HAHA"
Savira: "Kau di PKU juga Jar?"
Fadjar: "Iya di PKU, Nangor Jumat depan"
Aku: "Jumat ini ketemu gimana?"
Davon: "Aku bisaa"
Savira: "HAYUK, kok pas banget sih wkwk"
Davon: "Hayuklahh gass!"
Fadjar: "Jumat? Maaf ya we"
Kami: "Hah kenapa..."
Fadjar: "... Aku bisa"
Aku: "******"
Setelah berbagai revisi dalam perencanaan, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu hari Sabtu sore di Living World. Aku yang masih magang di Kerinci saat itu dengan semangat mengangkut bawaanku ke bus tujuan Pekanbaru, siap untuk langsung menemui teman-temanku. Benar saja, setelah aku tiba dan beristirahat sebentar di rumah, Fadjar dan Davon pun datang menjemputku dengan mobil Fadjar. Setelah itu, barulah kami pergi menjemput Savira di rumahnya.
Seusai sesi nyanyi Lover is a Day bersama Fadjar yang sering kuledek sad boi serta ramah-tamah dengan mama Savira, akhirnya kami meluncur ke Living World. Semua cerita menarik berusaha kami tahan agar disampaikan nanti saat kami sudah duduk makan saja. Setelah memilih tempat makan serta makanan yang akan kami santap, barulah akhirnya kami meletakkan ponsel masing-masing di tengah meja dan saling lempar siapa yang mesti bercerita duluan.
"Si Azz semangat naruh hapenya duluan, kaulah cerita dulu Azz..."
"Ha, kok aku pulak? Savira tu lah, kan dia yang paling bikin kepo!"
"Ehh nggaklah..."
Begitu terus, hingga akhirnya giliran pertama bercerita jatuh pada Savira. Cukup menarik memang kisah mahasiswa berprestasi STEI ITB ini, sayang kalian tidak dapat mengetahuinya, hehe. Pokoknya, aku, Fadjar, dan Davon sangat absorbed pada ceritanya dan menyimak dengan serius.
"Ya, gitulah ceritanya," rangkum Savira akhirnya sembari menyeruput tehnya. "Pahit, sih, memang..."
Hening sejenak.
"Tehnya, Vir?"
"Hah?"
"Hah?"
Savira memandang kami kebingungan, hingga akhirnya tertawa. "Maksud aku keadaan... Tapi iya sih dua-duanya..."
Akhirnya kami tergelak bersama atas ke-absurd-an yang baru saja terjadi. Duh, memang tipikal kami, ada saja yang bisa ditertawakan setelah suasana serius. Akhirnya, setelah Savira menyelesaikan ceritanya, dengan agak terpaksa aku menyampaikan ceritaku yang sebenarnya tak kalah seru. Davon yang sudah tahu jalan ceritanya pun meraih ponselnya, sementara Savira dan Fadjar menyimak dari awal sampai akhir. Cerita pun masih berlanjut bahkan saat kami akhirnya sudah di mobil untuk ke tujuan lain kami hari itu.
"Begitulah keadaan Azzahra nih, memang pelik," ujar Davon untuk yang kesekian kalinya, sampai-sampai aku, Savira, dan Fadjar selalu tertawa jika Davon mengucapkan kata itu lagi. Duh, pelik!
Akhirnya, kami menghabiskan waktu hingga tengah malam bersama-sama, dan diantar dengan selamat oleh Fadjar ke rumah masing-masing tentunya. Banyak sekali keseruan yang terjadi selain cerita-cerita kami yang ngawur; masuk ACE Hardware cuma untuk numpang foto, berfoto lagi di sudut lain mal, mengobrol seru dan memutar lagu di mobil, makan sate padang di Sate Bundo Kanduang yang sudah lama diidamkan, hingga akhirnya duduk di KFC untuk melanjutkan sesi cerita hingga tengah malam. It was a really meaningful meeting. Sepanjang pertemuan itu, aku berkali-kali bersyukur diberi kesempatan untuk berkumpul dan berbagi suka-duka dengan orang-orang yang aku sayangi itu.
Kini, meski sama-sama berada di Pekanbaru, mau tak mau kami harus menahan diri untuk tidak bertemu satu sama lain dikarenakan pandemi yang sedang berlangsung. Memang pahit dan pelik, ya. Untungnya, di sela-sela kesibukan kami selama swakarantina ini, kami sempat mengobrol lewat Zoom sebelum Davon mengeluarkan titah untuk menghapus aplikasi tersebut (ya, kurasa kalian tahu sendiri kenapa). Seperti biasa, kami sedikit banyak membicarakan kisah hidup masing-masing, saling mengomentari dan mencari apa yang bisa ditertawakan dari pahit dan peliknya kehidupan serta kebodohan-kebodohan kami.
"Dahlah, intinya kita berempat sama-sama bongak," ujar Fadjar akhirnya. Entah kenapa kami bertiga setuju.
Saat menuliskan ini semua, aku jadi sadar betapa aku merindukan ketiga temanku itu dan betapa berharganya waktu yang bisa kami habiskan bersama. Kini pulang ke Pekanbaru terasa tak lagi sama tanpa pertemuan dengan mereka, dan meski teknologi dapat memudahkan kami dalam meraih satu sama lain, tentu saja semua itu tidak ada tandingannya dengan saat-saat dimana kami duduk berempat dan saling mendengarkan cerita masing-masing tanpa kewajiban yang mesti dikerjakan. Semoga saja setelah semua ini usai, hubungan kami makin erat dan tiap pertemuan akan semakin hangat. I have faith that everything is gonna be okay between us.
Untuk Savira, semangat kerja dan skripsiannya. Kau hebat. You're destined for great things, I'm sure of it. Let us know when we can catch up with you!
Untuk Fadjar, kau menyebalkan, tapi kau hebat. Semoga kisah kau selalu dapat menginspirasi kami. Semangat berkarya, ya, aku tunggu gebrakan dari kau.
Untuk Davon, sesekali kirim masakanmu ke kami, dong! Hehe, canda deng. Semangat terus belajar masaknya dan untuk segala hal yang dilakukan selama karantina!
Senang bisa mengenal kalian. Sampai jumpa segera!
9 Februari 2020, ACE Hardware, minus urat malu.